Multikulturalisme Kembar
Saya ingin mengembangkan lebih jauh ide Stepan ini dengan mengemukakan
ide tantang “multikulturalisme kembar”. Apa yg saya maksud dengan ide itu
adalah bahwa dalam masyarakat yang plural, pengertian harus datang dari dua
belah pihak sekaligus—dari pihak “dalam” agama sendiri, tetapi juga dari pihak
di “luar” agama.
Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir pernah dituduh menghina Islam
karena menulis sejumlah buku yang mengajukan interpretasi yang berbeda dengan
kalangan ortodoks Islam. Sekarang, sebagian umat Buddha memprotes berdirinya
restoran dengan nama Buddha Bar karena mereka anggap hal itu melukai simbol
agama Buddha.
Dua kasus di atas menyangkut tema yang sama: yaitu apa yang dipandang
oleh umat agama masing-masing sebagai pelecehan atas agama (dalam konteks hukum
modern, hal ini sering disebut sebagai “blasphemy"). Kedua kasus di atas
tampaknya sama di permukaan, tetapi ada perbedaan fundamental antara keduanya.
Saya kira para pekerja dialog antaragama harus menangkap perbedaan yang subtil
antara kedua hal di atas. Kalau tidak, perjuangan mereka bisa kehilangan
kredibilitas.
Kasus pertama menyangkut interpretasi atas agama, sementara kasus kedua
berkaitan dengan sebuah simbol yang secara “physical” atau jasadiah kurang
lebih kasat mata. Tuduhan pelecehan agama pada kasus pertama sama sekali tidak
bisa diterima, sebab perbedaan interpretasi tidak bisa dipakai sebagai landasan
untuk menuduh pihak tertentu sebagai melecehkan agama. Pada kasus kedua,
tuduhan pelecehan agama bisa diterima, atau sekurang-kurangnya bisa
dipertimbangkan.
Menurut saya, kita patut mempertimbangkan keberatan umat Islam
seandainya ada seorang pengusaha mendirikan sebuah pub dengan nama “Muhammad
Pub”. Saya sebagai Muslim bisa saja menganggap hal itu sebagai parodi yang lucu
dan menyenangkan, tetapi jika ada sekelompok umat Islam yang tersinggung dengan
tindakan seperti itu, saya harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh keberatan
itu.
Tetapi jika saya mengajukan interpretasi tertentu tentang suatu doktrin
dalam Islam, misalnya doktrin kenabian, lalu ada kelompok lain dalam Islam
menganggap interpretasi saya itu sebagai pelecehan atas Islam, maka tuduhan
semacam itu sulit diterima.
Kita bisa saja mengatakan bahwa Yesus dan simbol-simbol kekristenan
dilecehkan dengan seenaknya saja dalam budaya pop yang berkembang di Barat.
Umat Kristen di sana toh tidak pernah mempersoalkan hal itu. Terhadap ini, saya
akan mengatakan: kenapa masyarakat Barat harus menjadi standar dalam hal ini?
Apakah mereka secara “ontologis” lebih baik ketimbang masyarakat lain? Kalau
masyarakat Barat tak tersinggung saat Yesus dijadikan sebagai obyek parodi, itu
urusan mereka sendiri.
Tetapi kalau ada masyarakat lain tidak bisa menerima apa yang mereka
anggap sebagai pelecehan atas simbol agama mereka, kita patut mempertimbangkan
keberatan semacam itu. Menurut saya, inilah tafsiran dan implikasi praktis dari
filosofi multikulturalisme yang sekarang menjadi cara pandang baru yang mulai
diterima di mana-mana.
Alfred Stepan, seorang ahli ilmu perbandingan politik dari Universitas
Columbia, New York, pernah mengemukakan ide tentang “toleransi kembar” (twin
toleration). Saya ingin mengembangkan lebih jauh ide Stepan ini dengan
mengemukakan ide tantang “multikulturalisme kembar”. Apa yg saya maksud dengan
ide itu adalah bahwa dalam masyarakat yang plural, pengertian harus datang dari
dua belah pihak sekaligus—dari pihak “dalam” agama sendiri, tetapi juga dari
pihak di “luar” agama.
Pihak di dalam agama sendiri harus tahu bahwa mereka hidup dalam
masyarakat yang beragam dengan konsekuensi yang kadang kurang menyenangkan buat
mereka. Tetapi masyarakat di luar agama bersangkutan juga harus “sensitif”
terhadap perasaan umat beragama. Sikap yang dituntut dalam konteks
“multikulturalisme kembar” ini sangat berbeda dengan sikap yang berkembang
dalam konteks wacana sekularisme. Dalam yang terakhir ini, sikap yang lebih
menonjol adalah melihat agama dengan curiga, bahkan kadang dengan mata
merendahkan.
Tetapi sikap semacam ini saya kira kurang bisa diterima dalam konteks
masyarakat non-Barat. Saya tak hendak melakukan generalisasi di sini, tetapi
tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa apa yang saya kemukakan itu
mencerminkan sebuah kecenderungan umum.
Sikap ini saya tempuh karena saya sadar bahwa implikasi penting dari
multikulturalisme bukan saja meminta umat beragama untuk mengerti dan menolerir
terus pihak luar, tetapi pihak luar juga harus mengerti pula perasaan umat
beragama.
Dengan mengatakan hal ini, saya tentu tak hendak mengatakan bahwa
perasaan umat agama tertentu harus diangkat menjadi semacam “meta discourse”
yang mengatasi hal-hal lain. Dengan kata lain, perasaan umat agama tertentu tak
harus serta-merta dijadikan sebagai norma tunggal untuk menilai aspek-aspek
lain dalam kehidupan masyarakat yang multikultural. Yang ingin saya katakan
adalah bahwa dalam multikulturalisme dibutuhkan kedewasaan dari dua belah pihak
sekaligus, dari pihak “dalam” dan “luar” agama tertentu.
Oleh karena itu, dalam kasus Buddha Bar ini, kita patut mempertimbangkan
keberatan kelompok tertentu yang merasa bahwa nama itu kurang pantas dipakai.