Pengantar Ilmu Tafsir


Pengantar Ilmu Tafsir
Al-qur’an adalah wahyu terakhir yang diturunkan kepada umat manusia melalui nabi Muhammad Saw sebagai landasan menuju cahaya Ilahi. Al-qur’an turun sebagai mu’jizat bagi nabi Muhammad. Kemu’jizatan al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai aspek. Bahasa yang digunakan al-Qur’an menjadi salah satu bukti konkret akan kebesarannya. Bahkan untuk menunjukkan keautentikan al-Qur’an, Allah pun menantang semua makhluk untuk membuat atau mengarang ayat-ayat yang menyerupai ayat-ayat al-Qur’an.
Al-qur’an sebagai kitab suci memuat berbagai persoalan yang menjadi kebutuhan manusia. Secara garis besar, kandungan al-Qur’an terdiri dari ajaran tauhid, syariah, cerita-cerita masa lalu. Al-qur’an turun sebagai landasan bagi umat Islam dalam menjalankan roda kehidupan. Tentu menjadi keharusan bagi umat Islam untuk membaca,  mengkaji dan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an tersebut.
Kepedulian umat Islam terhadap al-Qur’an telah terbukti sejak masa nabi Muhammad. Allah Swt membebani nabi-Nya untuk menghafal ayat-ayat al-Qur’an serta menyampaikannya kepada umat manusia dengan disertai penjelasan-penjelasan. Selain itu,
umat Islam yang ada pada waktu itu telah dengan mudah memahami sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an. Hal itu tentu karena al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab.
Kemampuan berbahasa yang dimiliki masing-masing individu menjadikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an bersifat variatif. Usaha-usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an itulah yang pada akhirnya dikenal dengan disiplin ilmu tafsir.
Tentunya, membahas ilmu tasfir bukan merupakan hal yang mudah, hal itu karena bersentuhan langsung dengan  al-Qur’an sebagai kitab dan pedoman bagi umat Islam. Posisi al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada seorang nabi yang paling sempurna, dengan memuat pesan-pesan agung dan mulia, mengharuskan bagi  individu yang ingin mempelajarinya memiliki kemampuan akal dan hati yang bersih.
Melihat besar dan beratnya beban dalam menafsirkan al-Qur’an, al-Suyuthi memaparkan beberapa syarat khusus yang harus dilalui oleh tiap-tiap mufassir (ahli tafsir). Di antara persyaratan tersebut adalah; menguasai gramatikal bahasa Arab, ilmu balâghah, ilmu bayân, usûl al-din, usûl al-fiqh, ilmu qirâ’ah, asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa al-mansûkh, qashash al-Qur’an, dan hadis yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an. Muhammad Abduh juga mengatakan bahwa seorang mufassir harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya; memahami lafal atau kosa kata yang termuat dalam al-Qur’an, memahami gramatikal al-Qur’an, memahami kondisi sosio masyarakat yang dibahas oleh al-Qur’an, mengetahui kondisi masyarakat ketika diturunkannya al-Qur’an dan mengetahui sejarah nabi Muhammad Saw serta para sahabat (pengikut nabi pada masanya) yang telah menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an.
Namun di sisi lain, tujuan tafsir al-Qur’an adalah memahami dan menangkap perintah-perintah Ilahi untuk dilaksanakan, dengan keyakinan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sementara Allah Swt memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam memahami perintah-perintah-Nya sesuai dengan batas kemampuan masing-masing individu. Dengan kata lain setiap orang berhak melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Pada makalah ini, penulis akan berusaha memaparkan beberapa hal yang berkaitan secara langsung dengan disiplin ilmu tafsir. Pembahasan ini terdiri dari sejarah perkembangan ilmu tafsir yang mencakup metodologi tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr dan metodologi tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yi. Di akhir artikel, penulis tutup dengan epilog sebagai pandangan penulis terhadap hasil kajian atau penelitian yang telah penulis lakukan.
Sejarah Perkembangan Tafsir
Al-qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang terjaga keautentikannya baik secara lisan (hafalan) maupun tulisan. Muhammad Arkoun mengatakan bahwa kelebihan dan keutamaan yang dimiliki al-Qur’an dibanding dengan nash-nash atau teks-teks Arestatolis, Plato dan sebagainya terletak pada nilai-nilai atau kekuatan iman yang terkandung di dalamnya.
Beberapa riwayat berselisih tentang pengumpulan al-Qur’an pertama kali. Ada riwayat yang mengatakan bahwa al-Qur’an telah terkumpul rapi sejak masa nabi Muhammad. Proses pengumpulannya dilakukan oleh Ibnu Sa’di. Dalan riwayat lain dikatakan bahwa proses pengumpulan al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa awal khalifah Rasyidin.
Kaum Syi’ah mempercayai bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pelopor yang menjaga dan memelihara al-Qur’an berupa tulisan yang ia tulis di lembaran-lembaran, kain tempat tidur yang ia ambil dari bawah bantal nabi. Diriwayatkan bahwa pengumpulan al-Qur’an berdasarkan pada kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang telah Ali bin Abi Thalib tulis sesuai dengan perintah nabi. Pendapat ini lebih didasarkan pada kecintaan para pengikut Syi’ah yang senantiasa mengagung-agungkan imamnya. Secara resmi, al-Qur’an dibukukan (dalam bentuk mushaf) pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Islam dengan al-Qur’an sebagai kitab suci menawarkan perubahan-perubahan pada berbagai aspek kehidupan. Secara gari besar, perubahan-perubahan itu berupa perubahan keagamaan, sosial dan etika. Tawaran misi-misi itulah yang pada akhirnya mempercepat laju penyebaran agama Islam. Maka disinilah pentingnya mengkaji kembali ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir dalam bahasa terkini dikenal dengan istilah hermeneutik, yang secara makna berarti menafsirkan, menerjemahkan. Islam tumbuh dan tersebar sebagai agama Ilahi yang ditopang oleh kitab suci al-Qur’an. Hal itu juga berlaku bagi agama-agama samawi lainnya. Satu-satunya jalan untuk memahami pesan-pesan Ilahi tersebut adalah dengan cara mempelajari, menafsirkan, menakwilkannya. Usaha memahami ajaran-ajaran agama telah menjadi kebiasaan bagi tiap-tiap pengikut agama khususnya para pembesar atau ulama agama.
A. Metodologi Tafsir bi al-Ma’tsûr
Umat Islam masa nabi Muhammad melakukan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan tiga cara diantaranya, pertama; berdasarkan pada al-Qur’an sendiri. Hal itu diambil jika di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang ayat-ayat lain yang bersifat lebih umum. Kedua; berdasarkan pada hadis nabi atau penjelasan yang datang dari nabi. Jika umat Islam (para sahabat) tidak menemukan keterangan atau penjelasan secara rinci dalam al-Qur’an, mereka meminta petunjuk dan penjelasan kepada nabi Muhammad. Hal itu karena selain sebagai penyampai wahyu, nabi Muhammad juga dibebani atau diwajibkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan atas wahyu-wahyu Ilahi.
Ahlu’ Sunnah wa al-jamâ’ah berpendapat bahwa nabi Muhammad adalah seorang mufassir al-Qur’an, dan untuk mengetahui hal itu harus melalui hadis-hadis nabi. Dengan demikian, pengungkapan dan penyikapan tujuan Ketuhanan tidak bisa dilakukan tanpa berpedoman pada hadis nabi. Ketiga; jika umat Islam (para sahabat) tidak menemukan keterangan dalam al-Qur’an dan hadis, mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman dan ijtihad. Perkataan para sahabat nabi selanjutnya dijadikan rujukan dalam penafsiran al-Qur’an. Hal itu karena para sahabat nabi termasuk orang-orang yang tahu dan mengalami secara langsung sejarah diturunkannya al-Qur’an. Metode penafsiran versi sahabat dibagi menjadi dua, pertama; tafsîr marfû’, yaitu perkataan atau penafsiran yang dilakukan oleh sahabat dan diketahui secara langsung oleh nabi. Kedua; tafsîr mawqûf, yaitu tafsir yang murni dari hasil ijtihad para sahabat.
Pada masa Tabi’in, pintu ijtihad masih terbuka lebar. Begitu pula yang terjadi pada perkembangan metode tafsir. Ketika para Tabi’in tidak menemukan penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an dari al-Qur’an, hadis dan perkataan para sahabat nabi, mereka tidak segan-segan untuk berijtihad. Metode penafsiran tersebut di atas dikemudian hari lebih dikenal dengan tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr.
Namun tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh Tabi’in masih dalam perdebatan, apakah ia termasuk dalam kategori tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr atau tidak? Ibnu Taymiyah mengutip perkataan Sya’bah bin al-Hujjâj yang mengatakan bahwa tafsir Tabi’in tidak termasuk dalam kategori tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr. Secara umum, penafsiran Tabi’in dapat diterima sebagai bagian dari tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr.
Metode tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yang berasal dari hadis yang sengaja dibuat-buat atau dipalsukan. Selain hadis palsu juga terdapat cerita-cerita atau dongeng-dongeng masa lalu yang lebih dikenal dengan istilah isrâîliyât. Isrâîliyât adalah cerita-cerita masa lalu yang tersebar di kalangan umat Islam yang bersumber dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).
Pengaruh Luar terhadap Metodologi Tafsir al-Ma’tsûr
Telah menjadi keyakinan bagi orang-orang Arab, bahwa ahlu Kitab adalah golongan terdidik dan ahli agama. Hal ini diperkuat oleh Ibnu Khuldun yang menyatakan bahwa orang Arab (tempo dulu) bukanlah orang-orang yang berilmu melainkan adalah orang-orang yang buta huruf dan badui, sehingga ketika mereka ingin mengetahui sesuatu (seperti masalah wujudiyah dan alam ciptaan) sebagaimana fitrah manusia pada umumnya, maka mereka menanyakannya kepada ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani. Namun setelah nabi datang dengan membawa risalah, maka orang Arab pun berpegang teguh terhadap hukum-hukum syari’ah. Bahkan sebagian besar dari pembesar-pembesar ahlu kitab menyatakan diri masuk Islam, diantaranya; Ka’ab bin Akhbar, Abdullah bin Salam.
Muqatil bin Sulaiman adalah sampel dari sekian banyak orang Islam yang mempelajari al-Qur’an melalui Yahudi dan Nasrani dan menjadikan al-Qur’an sesuai dengan ajaran-ajaran kitab-kitab mereka. Bahkan ada sebagian golongan yang mempelajari al-Qur’an dari cerita-cerita Yahudi dan Nasrani serta menyakininya sebagai tafsir al-Qur’an.
Persoalan isrâîliyât pada masa nabi tidak memiliki peran penting karena umat Islam disibukkan dengan hafalan al-Qur’an dan peperangan. Namun, setelah nabi wafat, isrâîliyât di tubuh umat Islam menjadi jamur. Hal itu yang pada akhirnya menyebabkan lemahnya metode tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr. Faktor lain yang menjadi pelemah metode itu adalah, pertama; tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Persia dan Romawi yang menyatakan diri masuk Islam, dikemudian hari mereka membuat hadis-hadis palsu dengan dalil rasa cinta yang tinggi kepada ahlu bait. Hal itu mereka lakukan karena merasa tidak mampu menyerang Islam melalui medan pertempuran fisik. Kedua; pergolakan politik pasca wafatnya nabi Muhammad. Masing-masing umat Islam membuat golongan (madzhab) tersendiri. Ironisnya, ajaran-ajaran agama dijadikan justifikasi untuk membenarkan segala tindakan. Ketiga; semaraknya dongeng-dongeng masa lalu yang bersumber dari isrâîliyât. Dongeng itu bertujuan untuk mengajak orang-orang awam yang secara psikis lebih tertarik pada hal-hal  aneh. Keempat; munculnya sebagian aliran zuhud dan tasawuf yang membuat hadis-hadis palsu untuk membenarkan ritual ibadahnya. Kelima; wafatnya nabi Muhammad sebagai rujukan bagi umat Islam menjadikan sebagian umat Islam kembali pada masa awal di mana para ahlu kitab menjadi sumber atau rujukan untuk mengetahui berbagai persoalan.
Waktu terus berubah, persoalan dan kebutuhan masyarakat semakin pelik dan komplit. Ilmu-ilmu terus berkembang seiring kebutuhan masyarakat. Begitu pula yang terjadi pada disiplin ilmu tafsir. Ibnu Jarir al-Thabari merupakan mufassir awal yang secara resmi mengkodifikasikan tafsir dengan menitik beratkan pada pengambilan-pengambilan hukum dan i’rab. Kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Katsir yang secara teori memiliki syarat-syarat periwayatan lebih ketat dibanding pendahulunya. Cerita-cerita isrâîliyât yang dibahas Ibnu Katsir hampir semuanya memiliki landasan keabsahan. Berbeda dengan Ibnu Jarir al-Thabari yang cenderung mengumpulkan cerita-cerita isrâîliyât tanpa diadakan penfilteran terlebih dahulu.
B. Metodologi Tafsir bi al-Ra’yî
Ekspansi Islam semakin meluas, Islam dihadapkan pada masyarakat yang tidak lagi bersifat mono. Pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam melalui tafsir dituntut untuk bisa menjawab tiap-tiap kebutuhan masyarakat. Maka tidak heran jika dalam kondisi yang demikian metode tafsir telah mengalami perubahan. Masing-masing mufassir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan masing-masing. Fakhruddin al-Razi lebih menekankan tafsirnya pada persoalan hukum-hukum dan filsafat. al-Qurthuby dengan tafsir fiqih, al-Tsa’laby dengan tafsir sejarah, Qadhi Abdul Jabbar, Juba’i, al-Rumany dengan tafsir ilmu kalam.
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam disiplin ilmu tafsir menandai adanya motode baru dalam mengkaji dan menafsrikan pesan-pesan Ilahi. Metodologi tersebut lebih dikenal dengan tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yî.
Ibnu Taymiyah menolak adanya tafsîr al-Qur’ân bi al-Ra’yî, karena para sahabat dan tabi’in telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga tafsir yang bertentangan dengan tafsir para sahabat dan tabi’in masuk dalam kategori salah dan bid’ah. Al-Suyuthi mengutib beberapa hadis yang melarang penafsiran al-Qur’an dengan al-Ra’yî.
Ibnu Asyur menyangkal pendapat dan pengutipan hadis-hadis nabi yang melarang secara keras medote penafsiran al-Qur’an bi al-Ra’yî. Bagi Ibnu Asyur, tafsir adalah seni-seni dalam memahami al-Qur’an. Keindahan dan keistimewaan al-Qur’an sendiri tedapat pada ragam seni-seni tersebut. Jika penafsiran al-Qur’an hanya berpegang pada tafsir-tafsir terdahulu tanpa adanya inovasi dari mufassir, maka tafsir al-Qur’an hanya berupa lembaran-lembaran yang minim.
Ibnu Asyur menjelaskan bahwa para sahabat nabi dan ulama-ulama terdahulu lebih mengfungsikan akal dan pengetahuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ibnu Asyur lebih cenderung menggunakan hadis yang menyatakan bahwa nabi Muhammad hanya menjelaskan al-Qur’an pada ayat-ayat tertentu. Selain itu, Ibnu Asyur juga mengutip pendapat al-Ghazali dan al-Qurthuby yang mengatakan bahwa tidak benar kiranya jika semua perkataan sahabat nabi bersumber dari nabi. Hal itu karena beberapa faktor, pertama; nabi Muhammad hanya menetapkan atau menafsirkan ayat-ayat tertentu dengan jumlah yang sedikit (sesuai hadis Aisyah), kedua; adanya perbedaan penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat. Jika tafsir-tafsir sahabat berdasarkan penjelasan atau mendengar langsung dari nabi, maka secara otomatis penafsiran terhadap al-Qur’an akan sama. Para ahli fikih dan sastrawan beranggapan bahwa membaca sedikit dengan pemahaman yang mendalam jauh lebih bagus daripada pembacaan yang banyak akan tetapi dangkal pemahaman.
Ada sebuah kisah menarik yang seringkali dijadikan rujukan oleh para ahli fikih dan tafsir dalam usaha menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam. Kisah itu berkenaan dengan nabi Muhammad ketika berjalan melewati kebun kurma milik salah seorang Anshar. Kemudian nabi memberikan petunjuk kepada pemilik kebun tentang tata cara penanaman kurma. Namun pemilik kebun tersebut tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh nabi karena melihat bahwa nasehat yang disampaikan nabi cenderung pada kemaslahatan yang lebih minim dibanding apa yang telah ia ketahui. Kemudian nabi mengatakan secara langsung bahwa pengalaman seseorang lebih diutamakan daripada pendapat orang lain.
Ibnu Khuldun memaparkan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab beserta susunan balaghahnya. Semua umat Islam memahami dan mengerti arti dan makna al-Qur’an. Pemahaman yang dimaksud tentunya memiliki kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kemapuan masing-masing. Bahkan saling melengkapi satu sama lainnya.

Muhammad Abduh memaknai tafsir sebagai upaya memahami al-Qur’an dengan kaca mata agama sebagai pedoman bagi manusia dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka disitulah maksud dari tujuan tafsir al-Qur’an itu. Sementara cara memahami dan menafsirkan al-Qur’an hanyalah media, wasilah, metode untuk mencapai tujuan.
Mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa tidak diperlukan adanya kajian-kajian atau tafsir-tafsir baru terhadap al-Qur’an, karena ulama-ulama terdahulu telah mengkaji dan menafsirkannya berlandaskan pada al-Qur’an dan Sunnah, serta telah memutuskan hukum-hukum berdasarkan tafsir-tatsir tersebut. Maka tidak ada celah untuk kembali menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, kecuali hanya dengan mengikuti apa yang telah ada. Menanggapi hal itu, Muhammad Abduh kembali mempertanyakan, bagaimana bisa orang itu berkata demikian sementara ia berada pada masa dengan kondisi masyarakat yang memiliki problematika fikih yang berbeda dengan masa nabi, entah kenapa pola pikir tersebut ada pada diri seorang Muslim?
Muhammad Abduh dalam dialognya bersama Rasyid Ridha mengatakan bahwa al-Qur’an tidak memerlukan penafsiran secara utuh, sesungguhnya al-Qur’an memiliki penafsiran-penafsiran yang saling melangkapi satu sama lainnya. Bagi Muhammad Abduh, yang terpenting adalah menafsirkan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an itu. Mungkin, di sinilah Muhammad Abduh memahami adanya perbedaan-perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan masing-masing mufassir. Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menitik beratkan pada persoalan-persoalan ilmu kalam, filsafat, pembaharuan agama, masyarakat  dan pemikiran. Metodologi yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah dengan mengikuti pola-pola tafsir yang digunakan oleh Mu’tazilah, Asy’ari (324 H), al-Maturidy (333 H), Abi Ja’fat Thahawy (321 H).
Muhammad Abduh berpendapat bahwa untuk menjadi seorang mufassir kontemporer harus menyandarkan diri kepada al-Qur’an, dengan berusaha memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya sebagaimana orang-orang Arab pertama kali memahami al-Qur’an. Tentu hal itu akan bisa dilaksanakan jika seorang mufassir telah mengetahui dan memahami bahasa Arab, sejarah nabi Muhammad, sosio masyarakat pada masa diturunkannya al-Qur’an. Muhamad Imarah menambahkan, bahwa Muhammad Abduh menyarankan bagi mufassir kontemporer untuk tidak merujuk pada tafsir-tafsir terdahulu kecuali hanya untuk mencari kosa-kata yang tidak ditemukan makna bahasa Arabnya. Karena tafsir-tafsir terdahulu hanya sesuai dengan kemampuan akal, ilmu pengatuhan, keadaan sosio kultural masyarakat pada waktu itu.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya perpedoman langsung kepada kemampuan perasaan dan akal sehatnya. Tinjauan tafsir Muhammad Abduh lebih metitikberatkan pada prolematika sosial yang terjadi pada abad ke 19 tanpa mengkaji kembali tafsir-tafsir terdahulu. Muhammad Abduh melihat al-Qur’an dengan penglihatan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan Darwin.
Dengan demikian, metode al-ra’yi yang digunakan oleh Muhammad Abduh merupakan hasil dari ijtihad. Untuk itu, Muhammad Abduh menempatkan bahasa Arab sebagai bekal utama untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Muhammad Abduh mengingatkan bahwa salah satu keutamaan al-Qur’an adalah adanya transformasi dan penjelasan dari satu masalah ke masalah lain atau yang mendekati dalam satu kerangka tema yang sama.
Jamal al-Bannah menambahkan bahwa para sabahat berusaha memahami al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hal itu sebagaimana terjadi pada Umar bin Khattab yang mengahafal (mempelajari) surat al-Baqarah selama delapan tahun. Oleh karena itu, memahami atau menafsirkan al-Qur’an dengan metode bi al-ma’tsûr hanya akan menyempitkan tafsir itu sendiri.
Secara garis besar, penganut tafsir bi al-ra’yi menghendaki adanya perubahan pemahaman al-Qur’an dengan menjadikan akal sebagai pedoman kedua setelah al-Qur’an itu sendiri. Peran dan fungsi tafsir-tafsir terdahulu bagi mereka tidak lain hanya berupa hasil ijtihad yang bisa jadi tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini, dan para mufassir kontemporer bisa melakukan seperti apa yang kaum mufassir tempo dulu lakukan.
Epilog

Al-qur’an turun sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang-orang yang mempercayai adanya Tuhan. Jika ditimbang-timbang, maka keberpihakan al-Qur’an terhadap kepentingan manusia jauh lebih berat dibanding kepentingan Tuhan sendiri. Untuk memahami al-Qur’an maka tidak ada cara lain kecuali dengan mempelajari dan mengkajinya.
Melihat problematika masyarakat yang semakin maju dan semakin pesat, penulis berpendapat bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an cukup dengan kemampuan masing-masing. Tentu saja hasil dari pemahaman itu tidak boleh dipaksakan ketika dipertemukan dengan pemahaman-pemahaman lain yang secara akal lebih nampak logis.
Semaraknya terjemahan-terjemahan al-Qur’an ke berbagai bahasa akan lebih memudahkan bagi tiap-tiap individu untuk memahami ayat-ayatnya. Namun penulis tidak menafikan pentingnya mempelajari dan menguasai bahasa Arab, karena al-Qur’an sendiri turun dalam bentuk bahasa Arab. Selain itu, pembacaan-pembacaan secara tidak langsung pada sumber-sumber ilmu akan menyebabkan pemahaman yang dangkal, dan sangat besar kemungkinan pembaca akan terpengaruh oleh penterjemah. Sehingga hal itu akan menyebabkan minimnya gaya kreasi dan inovasi yang muncul dari hasil perenungan dan pembacaan murni.
Al-qur’an bagaikan teks mati yang harus dihidupkan dengan penafsiran-penafsiran yang mengarah pada kemaslahatan manusia. Tafsir-tafsir yang telah ada dapat dijadikan landasan awal, wasilah untuk menciptakan tafsir-tafsir baru yang lebih manusiawi, kreatif, inovatif bukan sebagai pedoman utama. Wallaha’lam bi al-shawâb!
Daftar Pustaka:
1. Dr., Sulaiman Ma’rufy, fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Majlis’l Nasyr, al-‘Ilmy Jâmi’ah al-Kuwâit, Kuwait
2. Syeikh Rifa’ Rafi’ al-Thathawi, Nihâyah al-Ỉjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz Sîrah’l Rasûl Saw, al-Dzakhâir 151, al-Haiah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo
3. Shalahuddin Arqaradan, Mukhtashar al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân li’l Suyûthy, Dar’l Nafâis, Beirut, cet. II, 1987
4. Muhammad Abduh, Al-a’mâl al-Kâmilah li al-Imâm al-Syeh Muhammad Abduh, ditahkik oleh DR. Muhammad ‘Imârah, jilid 4, Dar al-Syurûq, Kairo
5. Muhammad Arkoun, Al-fikr al-Ushûly wa Istihâlah al-Ta’shîl Nahwa Târîkh Âkhar li Fikr al-Islâmy, trjm. Hasyim Shaleh, Dar al-Saqi, London, cet. I, 1999
6. Theodor Noldeke, Târikh al-Qur’ân, Trjm. Konrad Adenauer Stiftung, Beirut, cet. I, 2004
7. Dr., Muhammad Abdullah Daraz, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm, Trjm. Muhammad Abdul al-‘Adhim Ali, Dâr al-Qalam li al-Nasyr wa al-Tawzî’, Kairo, cet. V, 2003
8. Muhammad Arkoun, al-Fikr al-‘Araby, ditrjm. Dr., ‘Âdil al-Awwâh, Jam’u Huqûq al-‘Arabiyyah fî al-‘Âlam Mahfûdzah li Dâr Mansyûrah ‘Awîdât, Bairut, cet. III, 1985
9. Qasim Ahmad, I’Âdah Taqyîm al-hadîts al-‘Awdah ilâ al-Qur’ân, Madmûly, Kairo
10. Dr., Abdul Ghaffar Abdurrahim, al-Imâm Muhammad Abduh wa Manhajatuhu fî al-Tafsîr, Dar al-Anshâr, Kairo, 1980
11. Dr., Jum’ah Ali Abduh al-Qâdir, al-Dâkhîl bainah al-Dirâsah al-Manhajiyyah wa al-Namâdzaj al-Tathbîqiyyah, Jâmi’ah alAzhar, Kairo, cet. I, 2006
12. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah Ibn Khuldûn, ditahqiq oleh Dr., Ali Abdul Wahid Wafi, Maktabah al-Usrah, Kairo, jilid 3, 2006
13. Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islamy, ditrjm., Dr., Abdul Halim al-Najar, Maktab al-Khânijy, Kairo, 1955
14. Dr., Muhammad bin Muhammad Abu Syahibah, Al-Isrâîliyât wa al-Maudlû’ât fî kutub al-Tafsîr, Maktab’ Sunnah, Kairo, cet. II, 2006
15. Syeikh Muhammad al-Thâhir ibnu ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnûn li al-Nasyr wa al-Tawzî’, Tunis,
16. Malik bin Nabi, Al-dzâhirah al-Qur’ân Musykilât al-Hadhârah, trjm., Abdus Shabur Syahin, Dâr al-Fikr, Beirut, 2000
17. Amin Khuly, Al-a’mâl al-Kâmilah Amîn al-Khuwaily Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adzab, Maktab al-Usrah, Kairo, juz. 10, 1995
18. Dr.,‘Athif al-‘Irâqy, al-Syiekh Al-Imâm Muhammad Abduh wa al-Tanwîr Qarn min al-Zamân ‘Alâ wafâtihi, Dâr’l Rasyâd, Kairo, cet. I, 2006
19. Al-Sayyid Yusuf, al-Imam Muhammad Abduh râid al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-‘Asyr al-Hadîts, Maktabah al-Usrah, Kairo, 2007
20. Dr. Musthafa Labib Abdul Ghani, Tafsîr al-Fâthihah wa Juz ‘Ammâ li’l Ustâdz al-‘Imâm al-Syêikh Muhammad Abduh, al-Hay’ah al-‘Âmah li Qushûr’l Tsaqâfah, Kairo, al-Dzakhâir 162, 2007
21. Jamal al-Bannah, Tatswîr al-Qur’ân, Dar al-Fikr al-Islâmy, Kairo