Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5
Istri Dinikahi di Bawah Umur
LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang namanya
mencuat belakangan ini akibat menikahi bocah di bawah umur tampaknya bukan
apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai tenar di Kabupaten Sumenep,
Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes Miftakhul Jannah,
Semarang) menikahi seorang saja bocah putri di bawah umur, KH Masyhurat
memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di bawah umur. Total
jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10 orang.
Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat di Dusun Tarebung, Desa
Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya ditemui oleh santri
kepercayaannya, Mujiburrahman (yang dipanggil Jibur), dan seorang istri KH
Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar kota.
Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman, lima di antaranya
dipersunting saat para perempuan itu masih berumur antara 12 dan 17 tahun.
Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh KH Masyhurat itu ikhlas
dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.
“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas memiliki menantu Abah
Masyhurat, anak-anak perempuan itu pun senang hati menerima pinangan Abah,”
tandas Jibur, Kamis (30/10/08).
Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat masih di bawah umur
adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP),
Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV madrasah
ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda Yusniah dinikahi saat
belum genap 17 tahun.
Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu untuk membantu mereka
yang lemah, baik dalam agama maupun dalam kehidupan ekonomi.
Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di bawah umur itu sudah naik
haji semua. Dari 10 istri kiai itu, tinggal seorang yang belum bergelar hajah.
“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA menjadi salah satu
rujukannya. Dan, dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah
dianggap akil balik. Bahkan, belum haid sekalipun dapat dinikahkan, asal tidak
boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.
Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah
umur tersebut langsung digauli oleh KH Masyhurat, Jibur mengaku tidak tahu
secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia
dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri
KH Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah umur itu, berusia rata-rata 25
tahun.
“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan istri yang masih di bawah
umur karena ilmu kiai kan sudah tinggi. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi
anak-anak,” kata Jibur.
Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah, istri kelima KH
Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah, perkawinan di bawah umur tidak perlu
diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan
sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.
“Yang sangat penting, sang suami bertanggung jawab menafkahi istrinya,
baik secara lahir maupun batin,” ujar Hajah Maskiyah yang saat dikawini KH
Masyhurat berumur 15 tahun.
Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH Masyhurat yang berjumlah 10
orang sebagian besar dinikahi sebelum usia mereka 20 tahun. Bahkan, salah satu
istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama, dikawin saat dia masih duduk di kelas
IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.
“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya masalah baik lahir
maupun batin. Kami semua kini hidup rukun dan tenang dalam satu kompleks rumah
laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan bangga.
Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua saat dinikahi, yaitu
istri terakhir KH Masyhurat, yakni Hajah Zubaidah yang dikawin sewaktu dia
telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan karena nafsu, melainkan ibadah
dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.
Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH Masyhurat mengatakan bahwa
perkawinan merupakan urusan pribadi atau hak azasi tiap-tiap individu. Bagi
dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak istri) itu demi mengikuti sunah
rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa berbuat adil, baik
lahir maupun batin, kepada para istri.
KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif
ibadah, bahkan demi kepentingan penyebaran (syiar) agama Islam, bukan karena
dorongan nafsu birahi.
“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam. Salah cara untuk
menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tutur KH Masyhurat
yang kini memiliki 24 orang anak.