Idul Fitri Menuju Kedamaian



Idul Fitri Menuju Kedamaian


BAGI umat Islam, momentum Idul Fitri adalah saat-saat penting untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan. Seluruh kesalahan yang pernah dilakukan terhadap sesama selama setahun, seolah ingin dilebur di hari Lebaran ini, minal a’idin wal-faizin.
Entah sadar atau tidak, ungkapan itu dalam masyarakat kita sering dimaknai "mohon maaf lahir dan batin". Meski secara kontekstual pemaknaan itu tidak terlalu menyimpang, namun keluasan dan kedalaman makna ungkapan tersebut tidaklah sepenuhnya terwakili perkataan "mohon maaf lahir dan batin".
Dalam istilah agama, ada yang disebut haqqullah atau hak Allah dan ada yang disebut haqqul adami atau hak manusia. Dosa atau kesalahan manusia kepada Allah menimbulkan hak bagi Allah untuk menuntut penebusan dari manusia. Kita menjalankan puasa Ramadhan adalah upaya menebus dosa dan memohon ampun kepada Allah. Puncaknya adalah Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrah kita, kepada kesucian.
Namun kembali kepada kesucian itu yang disimbolkan dengan adanya maaf dari Allah, lalu disempurnakan dengan maaf dari manusia. Dalam kehidupan keseharian atau bermasyarakat, kita pasti tidak luput dari berbuat salah kepada sesama. Allah tidak akan mengampuni kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama jika kita tidak mau minta maaf kepada yang bersangkutan. Di sinilah sebenarnya kaitan antara ungkapan minal a’idin wal-faizin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir dan batin yang berdimensi horizontal.
Kembali ke asal
Hidup pada dasarnya suatu gerak, suatu aktivitas dalam waktu. Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka hidup telah dimulai. Meminjam istilah Dante Alighori, hidup manusia dimulai di alam paradiso, yakni alam kebahagiaan. Karena pada saat itu, fitrah atau kejadian asal manusia bersentuhan secara fisik maupun mental dengan alam materi yang membuatnya tidak lagi bersih atau suci. Ditambah lagi, manusia itu makhluk yang lemah sehingga mudah terjerembab ke dalam kenikmatan materi yang semu. Semakin lama ia tenggelam dalam kemeriahan alam materi, semakin kotor pula alam rohaninya. Akhirnya, terjatuhlah manusia itu ke alam inferno, yaitu alam kesengsaraan.
Untuk bisa kembali ke alam paradiso atau alam kebahagiaan, manusia harus melalui proses pembersihan diri di alam purgatorio. Bagi umat Islam, alam purgatorio tidak lain adalah bulan Ramadhan, yakni bulan yang didatangkan rahmat, ampunan sekaligus sebagai pencegah agar manusia tidak jatuh ke alam inferno. Dengan demikian, umat Islam dapat masuk kembali ke alam paradiso, alam kesucian yang dilambangkan dengan Idul Fitri.
Sebenarnya, lambang-lambang dari kecenderungan manusia untuk kembali kepada asal kejadiannya tidak sulit juga ditemukan dalam aktivitas di hari Idul Fitri. Kita melihat misalnya orang-orang selalu menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka bahkan rela berjejal di kereta atau bus, saling sikut, saling dorong dan sebagainya. Bahkan banyak yang menginap di terminal atau stasiun kereta karena tidak kebagian tempat. Besoknya dia berjuang lagi. Kita lihat ribuan TKI yang mengais rezeki di negeri-negeri jiran, betapa mereka tampak berbondong pulang merindukan kampung halamannya. Inilah mudik lebaran yang sebenarnya "kembali ke asal" (ke kampung halaman) atau "kembali ke fitrah" dalam aktualisasi antropologis.
Apa yang akan mereka lakukan di kampung halaman sama sekali bukan untuk pamer keberhasilan hidup di perantauan. Tak jarang di antara mereka hidup di rantau dengan sengsara dalam arti sebenarnya. Dengan mudah kita bisa menebak rata-rata penghasilan para pendatang yang mengadu nasib di Jakarta atau kawasan industri di Jabotabek sebagai pekerja pabrik atau pedagang di sektor informal. Itu pun jika mereka belum kena PHK akibat pabrik gulung tikar. Jadi, tujuan mereka mudik itu sama sekali jauh di atas kepentingan material, tetapi didorong kecenderungan spiritual, yaitu hasrat berkumpul dengan sanak saudara sekaligus untuk saling memaafkan.
Kedamaian hati
Memaafkan adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Tidak semua orang mau berbesar hati memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika dia menganggap kesalahan itu terlalu besar sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan itu. Kata memaafkan sendiri dalam surat Ali Imran Ayat 134 didahului dengan kata menahan amarah. Karena orang yang tidak bersedia memaafkan kesalahan orang lain, biasanya memendam amarah atau menyimpan dendam.
Dalam Al Quran, kata dendam yang terkait gejala kemanusiaan paling sedikit disebutkan dua kali, yaitu dalam surat Al-Hijr Ayat 45-50 dan surat Al-A’raf Ayat 43. Kedua redaksi ayat itu persis sama: "Dan kami lenyapkan segala macam dendam yang ada dalam dada mereka". Keduanya dirangkai dengan keterangan mengenai keadaan surga. Kesimpulan ringkas yang diurai petunjuk Al Quran adalah sifat dendam-yang salah satu bentuknya adalah tidak mau memaafkan kesalahan orang lain-bukanlah sifat orang yang beriman. Sebab, Allah sendiri Maha Pemaaf. Allah juga mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang yang apabila marah mau memberi maaf.
Jelas, memaafkan adalah suatu kualitas dan tingkatan moral tersendiri. Kalau kita memaafkan kesalahan orang lain berarti kita menutupi kesalahan orang itu dan rasa marah kita sendiri. Sebab, keduanya saling berkaitan dengan keikhlasan memberi maaf. Kini pertanyaannya, mampukah kita meletakkan makna ungkapan "mohon maaf lahir dan batin" di suasana Lebaran ini dalam kerangka seperti itu? Sungguh tidak mudah. Sebab, bentuk- bentuk lahiriah dari pernyataan itu tampak lebih dominan ketimbang makna esensial yang ingin dituju. Lihat para politisi kita di depan kamera TV saling berpelukan, tetapi di belakang mereka saling berusaha menjegal dan menikam.
Memang manusiawi dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam berpolitik terjadi aneka pertentangan, perebutan kepentingan, dan konflik. Tetapi, umat Islam diingatkan ajaran agamanya, sehebat apa pun konflik hendaknya segera dicarikan penyelesaian dengan mengedepankan semanat ukhuwah (persaudaraan) guna membangun ishlah (perdamaian) di antara sesama umat manusia yang hingga kini masih tampak sering terganggu, bahkan terbelah dalam perseteruan.
Bagi kalangan tertentu yang menginginkan dakwah secara radikal dan menimbulkan permusuhan, maka di hari Idul Fitri, kini adalah saatnya untuk merenungkan kembali sikap dakwah yang lebih arif (bi al-hikmah). Pesan nabi Muhammad, "Jangan sampai perselisihan itu berlanjut lebih dari tiga hari". Mudah-mudahan melalui hari Idul Fitri ini kita bisa memetik hikmah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata, agar rasa damai dan persaudaraan selalu menyertai kita di mana pun dan kapan pun.
Said Aqiel Siradj Rais Syuriah PBNU