Tokoh Agama dan Pilihan Politik


Tokoh Agama dan Pilihan Politik
Saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan.
Menjelang pemilihan umum (pemilu) 2004 digelar, banyak sekali tulisan yang bernada gugatan terhadap keabsahan para ulama atau kiai yang terjun di dunia politik praktis dengan aktif di salah satu partai politik (parpol). Bagi sebagian kalangan, kiai seharusnya tidak masuk ke kancah politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan.

Alasannya, wilayah kiai adalah sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, menjadi milik semua golongan. Sedang dunia politik adalah profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, tendensius, dan akibatnya para kiai hanya menjadi alat politik kelompok tertentu. Jika berpolitik praktis dan menjadi juru kampanye parpol, para kiai akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) yang sering memanipulasi umat atau masyarakat basisnya demi kepentingan politik, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki kiai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat basisnya akan menjadi hilang, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.

Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar kiai tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘comberan’ politik yang penuh dengan kenistaan. Bahkan, boleh dibilang mereka berusaha menyelamatkan para kiai dari godaan politik yang kotor.

Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bila penggunaan istilah kiai, merupakan sebutan lazim untuk istilah ulama di negeri ini. Dalam tata bahasa Arab (nahwu-sharaf), ‘ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti orang yang berilmu, terutama ilmu keagamaan. Penggunaan istilah ulama, kemudian jarang digunakan, saat Islam dikembangkan di Indonesia, yang mana unsur lokalitas budaya masih dipertahankan.

Untuk menghindari kerancuan pemaknaan, terlebih saat istilah kiai menjadi sangat bias, sehingga orang yang bisanya cuma membuat orang lain menangis mendengar kemerduan suaranya juga dianggap kiai, maka penulis tidak memakai istilah ulama atau kiai. Sebagai gantinya, penulis menggunakan istilah tokoh agama, sehingga pembahasannya juga lebih luas.

Politik tokoh agama

Menurut studi Nasir Tamara (1982), sebelum dan sesudah berhasil menumbangkan rezim Shah Iran di tahun 1979, mendiang Imam Khameini adalah seorang tokoh agama (ulama), mujtahid (pembaharu pemikiran), marja’ al-taqlid (seorang yang patut diikuti), sekaligus seorang politisi yang dikagumi dan dihormati masyarakat Iran. Khameini menuliskan gagasan dan doktrin politik sejak tahun 1941 dalam bukunya berjudul ‘Kasyf al-Asrar’.

Di berbagai pidato politiknya, Imam Khameini dengan tegas meminta agar Shah Iran mengundurkan diri dari jabatannya. Saat Shah Iran membuat kebijakan land-reform di tahun 1963, dengan tegas Imam Khameini melakukan gerakan perlawanan, meski akhirnya ia harus meninggalkan Iran menuju Turki (1964), Irak (1964-1978), dan Prancis sejak tahun 1978. Di ketiga negara itu, Imam Khameini meneruskan perjuangannya melawan rezim Shah Iran.

Begitu juga yang dilakukan teolog besar Gustavo Gutierrez dari Peru, atau uskup agung Oscar A Romero dari El Savador. Mereka adalah para tokoh agama yang juga berpolitik praktis, berperang melawan penindasan terstruktur di wilayahnya. Para tokoh agama itu semua memiliki kesadaran dan semangat keagamaan untuk melakukan perubahan, melawan struktur dan kultur yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia, tapi merugikan dan menindas mayoritas.

Kesadaran dan semangat keagamaan ini pula yang mendasari pilihan seorang pastor dari Bolivia, Camilo Torres untuk bergabung dengan Ernesto Che Guevara bergerilya melawan pemerintahan komprador, meski akhirnya ia harus tewas dalam sebuah pertempuran gerilya yang tidak seimbang. Bagi kelompok gereja, tindakan Torres tidak mendapat restu, tapi bagi kalangan tertindas dan anak muda di Amerika Latin, tindakan Torres patut ditiru. (Mangunwijaya: 1982)

Begitu pula dalam kaitannya dengan peran politik tokoh agama yang ada di dalam negeri. Ini bisa dilihat dari peran sosial politik Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial yang pernah berpolitik praktis. Di masa revolusi kemerdekaan, para tokoh agama dari NU membuat langkah political power dengan membentuk tiga kelompok barisan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Barisan Hizbullah dipimpin K.H. Zainul Arifin, Barisan Sabilillah dipimpin K.H. Masykur, dan Barisan Mujahidin dipimpin K.H. Wahab Hasbullah. (Choirul Anam: 1985)

Saat memilih aktif di jalur parpol, tokoh agama dari NU juga membuat beberapa catatan gemilang. Menteri Dalam Negeri dari NU, Mr. Soenarjo membuat kebijakan pembentukan panitia Pemilu pertama yang terdiri dari perwakilan parpol. Menteri Ekonomi dari NU, Rahmat Mulyoamiseno membatasi aktivitas ekonomi pengusaha asing, serta memproteksi dan mengembangkan pengusaha pribumi.

Di bidang keagamaan dan pendidikan, tokoh NU juga sangat berperan, seperti pembangunan Masjid Istiqlal di masa Menteri Agama (Menag) K.H. Abdul Wahid Hasyim, pendirian IAIN oleh Menag K.H. Wahib Wahab, realisasi penerjemahan Alqur’an edisi bahasa Indonesia oleh Menag Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri, dan penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) oleh Menag K.H. Muhammad Dahlan.

Begitu pula penerimaan tokoh-tokoh agama atas bentuk final negara kesatuan berasaskan Pancasila, tentunya juga tidak bisa dianggap sebagai peristiwa politik yang sepele. Semua itu adalah bentuk pengabdian para tokoh agama yang tulus, tanpa pamrih, tanpa tendensi, kecuali untuk menegakkan kebenaran, dan menghilangkan penindasan. Padahal, semua itu bermula dari keterlibatan di dunia politik praktis.

Persoalan otoritas

Lantas pertanyaannya, manakah yang harus dipilih oleh para tokoh agama, antara berdakwah dengan berpolitik? Bagi penulis, antara dakwah dan politik tidak dapat dipisahkan begitu saja. Keduanya saling terkait, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Jika tokoh-tokoh agama menyerukan pemberantasan korupsi, misalnya, sementara di semua level struktural sedemikian korup, bahkan di lingkungan departemen keagamaan juga korup, apakah seruan moral itu bisa berhasil?

Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran, meski ia harus kena pecat dari jabatannya, tidak punya teman di pemerintahan, dan seterusnya. Ini yang dikatakan Rasulullah Saw. dengan “qul al-haqqa walaw kaana murran” (konsisten terhadap kebenaran meski dengan resiko yang sangat berat) dan menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.

Memang saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan.

Penilaian terjadi ‘authority abuse’ ini tidak boleh hanya sepihak, atau berasal dari lawan-lawan politik tokoh agama saja. Sebab penilaian dari lawan politik hanya memunculkan bias saja. Karena itu, penilaian ‘authority abuse’ harus berasal dari basis konstituen para tokoh agama. Jika basis konstituen merasa terjadi penyalahgunaan kewenangan, maka kontrak politik dengan para tokoh agama itu harus segera diputus, tidak diperpanjang.

Apalagi dalam sejarahnya, jika terjadi penyalahgunaan otoritas tokoh agama, maka akan muncul kesadaran pengikutnya untuk melakukan gerakan ‘perlawanan’. Gerakan reformasi gereja yang dipandegani Martin Luther menjadi salah satu contohnya. Jika para tokoh agama tega melakukan penyelewengan otoritas, bisa jadi peristiwa tragis Revolusi Prancis akan terulang kembali.

Sebagai gambaran akhir, penulis teringat ujaran Imam Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din. “Jika ada orang berzina, apakah alat vitalnya yang harus dipotong,” tanya Ghazali. Dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini, jika ada penyelewengan kewenangan yang dilakukan tokoh agama saat berpolitik, apa harus keterlibatannya dalam politik yang dihilangkan?

Sekali lagi, keterlibatan para tokoh agama dalam politik, bukan berarti berupaya menggabungkan konsep ‘din wa daulah’ (agama dan negara) yang dipegang erat kelompok skripturalis-fundamentalis, tapi untuk memberikan kesempatan para tokoh agama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan masyarakat basisnya. Meski harus masuk parpol. []
Saiful Amien Sholihin, Peneliti dan Direktur Pusat Kajian Agama, Sosial, dan Pluralisme (PKASPĆ©) Mojokerto. Sedang merintis pendirian Pesantren Karangmalang, Balongpanggag, Gresik.