Pluralisme Agama atau Multikulturalisme?


Pluralisme Agama atau Multikulturalisme?


saduuuum
Mahasiswa S2 Kajian Wilayah Amerika UI


Kekhawatiran Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) tentang pluralisme agama (paham yang mengajarkan semua agama sama) dan multifaith education atau pengajaran semua agama ke setiap anak didik (Republika, 21/4) saya kira wajar karena dalam keyakinan kaum Muslimin Islam adalah agama terakhir yang diturunkan untuk menyempurnakan serta meluruskan penyimpangan-penyimpangan dari doktrin-doktrin agama yang diturunkan sebelumnya. Jadi pada hakikatnya setiap agama itu berbeda. Pernyataan yang berkembang dari kedua paham tesebut seperti ''semua pemeluk agama dijamin masuk surga'' bisa benar hanya jika diteruskan dengan klausa ''menurut konteks keyakinan agama masing-masing''.
Agama dan konflik
Berkembangnya paham pluralisme agama dan multifaith education kemungkinan besar berasal dari kesalahan paradigma orang dalam mempelajari agama. Mereka mempelajari agama dengan mempelajari kenyataan umat agama yang dinilai sebagai representasi dari agama itu sendiri. Dalam konteks Islam, misalnya, banyak orang mempelajari Islam dengan melihat keterbelakangan umat Islam di dunia pendidikan dan fundamentalisme yang kemudian sering dihubungkan dengan terorisme dan sumber peyebab konflik-konflik bernuansa SARA. Padahal menurut Razak (1986) Islam seharusnya dipelajari secara integral dan dari sumber aslinya, yakni Alquran dan Sunnah.
Agama, terutama jika dikaitkan dengan kesukubangsan dan ras memang sering menjadi sumber penyebab terjadinya konflik-konflik sosial di Indonesia. Apa yang telah terjadi di Ambon, Sambas, Sampit dan daerah-daerah lain adalah contoh betapa faktor keyakinan keagamaan dalam kesukubangsaan telah ikut andil dalam konflik-konflik berdarah yang telah menewaskan ribuan orang dan memaksa ribuan lainnya untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan sebagai pedoman hidup, agama yang dipeluk oleh warga suku bangsa biasanya dipeluk secara menyeluruh dan menjadi kebudayaan atau standar moral dari sukubangsa tersebut. Yinger (1994) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara kesukubangsaan dengan agama. Kedekatan ini semakin kuat terasa pada saat sentimen primordial muncul dalam kesukubangsaan suatu masyarakat saat menghadapi tantangan-tantangan hidupnya: This affinity is strongest where the sense of a primordial attachment to an ancestral group and its traditions is most deeply felt. Agama suatu suku bangsa semakin dirasakan kepentingannya saat masyarakat suku bangsa tersebut merasa bahwa mereka tidak bisa mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup mereka, termasuk di dalamnya adalah dalam menghadapi konflik dengan masyarakat sukubangsa lain.
Diskriminasi terhadap WNI keturunan Tionghoa yang dikaitkan dengan agama tertentu dapat pula dijadikan contoh masalah ras yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Memang harus diakui bahwa Pemerintah Indonesia telah cukup banyak berusaha untuk mengurangi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat diskriminatif. Meskipun demikian, masyarakat WNI keturunan Tionghoa sampai sekarang masih merasakan perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap mereka. Kelompok ini sering merasa bahwa loyalitas mereka terhadap negara diragukan dan seringkali mereka hanya menjadi korban tak berdaya dari kebencian yang disebarluaskan oleh oknum-oknum dari kelompok-kelompok agama dan etnis lain. Dalam Tragedi Mei 1998, sebagai minoritas, masyarakat WNI keturunan Tionghoa tak bisa berbuat apa-apa saat dijadikan kambing hitam dari semua masalah yang menimpa Indonesia.
Menurut saya urgensi untuk mengadopsi ideologi multikulturalisme lebih besar daripada urgensi untuk menerapkan paham pluralisme agama dan multifaith education. Jika kita benar-benar ingin serius untuk membangun demokrasi, kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh bahwa sudah saatnya bagi Indonesia untuk mendorong dan memberikan dasar-dasar hukum yang kuat bagi peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan ideologi multikulturalisme. Hal ini penting karena multikulturalisme tidak dapat terwujud tanpa law enforcement yang konsekuen dan konsisten. Sifat manusia dari kelompok suku bangsa maupun ras mana pun cenderung untuk rasis, karena jati diri ras atau jati diri kesukubangsaan merupakan sesuatu yang primordial (yang pertama dan utama) dalam hidupnya. Jati diri ras atau kesukubangsaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi dan enkulturasi.
Pilihan pada multikulturalisme
Menurut para antropolog ternama termasuk antropolog senior UI, Prof Parsudi Suparlan, multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara sosial maupun individual. Sebuah masyarakat dalam model multikultural dilihat sebagai memiliki ''kebudayaan bersama'' . Multikulturalisme lalu dapat melindungi apa yang disebut sebagai pluralisme budaya dan dapat melindungi hak-hak golongan atau kelompok minoritas baik dari segi segi hukum maupun sosial. Bahkan dalam model masyarakat multikultural, seseorang bisa saja mengadopsi kebudayaan-kebudayaan dari ras atau sekubangsa selain ras atau sukubangsanya sendiri karena multikulturalisme menghendaki jati diri ras atau kesukubangsaan diredupkan. Sebagai gantinya, kebudayaan-kebudayaan dari setiap ras atau suku bangsa yang dihidupkan.
Pemerintah dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi di Amerika. Sejarah hubungan ras, agama, dan kesukubangsaan di Amerika adalah berdarah dan suram. Dalam buku-buku sejarah Amerika, tercatat bahwa populasi kulit hitam tidak memperoleh bagian yang sama dalam kebebasan dan kemakmuran Amerika. Orang-orang Indian dicurangi dan dicabut hak miliknya.
Pada pertengahan abad ke-19 imigran asal Irlandia yang beragama Katolik didiskriminasi secara politik, sosial, dan ekonomi oleh golongan White Anglo-Saxon Protestant (WASP) yang mengaku sebagai suku bangsa asli Amerika. Orang-orang Cina di Pantai Barat menjadi sasaran pelecehan hukum dan sosial pada akhir abad ke-19. Selama Perang Dunia II warga Amerika keturunan Jepang dikirim ke kemah-kemah gurun pasir dengan tuduhan palsu. Pada paruh pertama abad ke-20 hukum imigrasi bersifat sangat rasis. Orang-orang Asia dilarang masuk ke Amerika atau menjadi warga negara. Tindakan-tindakan diskriminatif menimpa bukan hanya ras minoritas, melainkan juga golongan-golongan minoritas lainnya.
Pemerintah Federal tercatat pernah memenjarakan para Pendeta Mormon karena dianggap mempunyai kepercayaan yang aneh dan merendahkan martabat. Kaum perempuan yang mencapai separuh populasi pun direndahkan secara hukum dan sosial. Bagaimanapun, perjuangan hak-hak asasi yang dimulai sejak tahun 1950-an lalu kemudian disusul dengan pelarangan perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap kulit hitam dan berwarna dan ditetapkannya berbagai kegiatan affirmative action atau diskriminasi terbalik, secara bertahap orang Amerika dapat menerima apa yang disebut dengan multikulturalisme.
Ideologi multikuturalisme yang menekankan pada kesederajatan tentu saja sangat mendukung terwujudnya demokrasi seutuhnya di Indonesia. Adalah pilihan yang tepat jika pemerintah sekarang mulai merintis usaha-usaha membangun multikulturalisme. Mengapa demikian? Karena sejak penerapan UU Pemerintah Daerah yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah muncul kekuasaan ''raja-raja kecil di daerah'' dan semangat rasis dan kesukuan (dan keagamaan) yang besar dari penduduk di daerah yang merasa diri mereka asli dan bermaksud ''memurnikan'' daerah tempat tinggal mereka dari pendatang.
Kuncinya keberhasilan penerapan ideologi multikulturalisme adalah penerapan hukum yang konsekuen dan konsisten. Penerapan hukum yang baik akan menghasilkan perilaku hukum yang baik pula. Friedman (2001) mengatakan bahwa apa yang disebut perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika orang berperilaku secara khusus atau mengubah perilakunya secara khusus karena diperintahkan hukum. Inilah perilaku hukum.
Untuk mempengaruhi perilaku hukum masyarakat atau untuk mendorong mereka mematuhi hukum, Friedman juga menguraikan beberapa hal yang harus dilakukan. Dua hal di antaranya, yang saya anggap paling penting adalah komunikasi hukum dan sanksi hukum. Komunikasi hukum diperlukan karena sangat aneh jika orang mematuhi hukum atau tidak mematuhi hukum tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Dengan kata lain, aturan harus dikomunikasikan. Namun tidak cukup bahwa norma atau aturan telah dikomunikasikan kepada audiens yang menjadi sasarannya. Karena yang mendorong mereka ke arah mematuhi atau tidak mematuhi norma atau aturan itu adalah berkaitan dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Orang mengikuti aturan karena mereka takut apa yang akan terjadi jika mereka tidak mengikutinya. Dengan kata lain, hukum dan sanksi mencegahnya. Lebih jauh lagi, pranata hukum akan disegani oleh masyarakat jika bersifat adil dalam artian tidak memihak salah satu golongan atau kelompok, dan peranan-peranan yang ada di dalam pranata tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh.
Jadi ketimbang mencoba bereksperimentasi dengan paham pluralisme agama dan multifaith education yang boleh jadi akan mendapatkan reaksi keras bukan hanya dari umat Islam, melainkan juga dari umat-umat agama lainnya, adalah lebih tepat jika para pembuat keputusan di negeri ini untuk mulai menerapkan kebijakan-kebijakan berbasis multikulturalisme. Kebijakan ini akan membuat penduduk Indonesia yang sangat beragam latar belakang kebudayaan dan agamanya untuk belajar memahami satu sama lain dan menghilangkan atau, paling tidak, mereduksi potensi konflik sosial di antara mereka.